Selasa, 05 Januari 2010


Ahlus Sunnah Menetapkan Istiwa’ (Bersemayam)

Termasuk iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang telah disepakati oleh generasi pertama dari ummat ini (para sahabat radhiyallahu ‘anhum)... bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas semua langit[1] , bersemayam di atas ’Arsy[2], Mahatinggi di atas segala makhluk-Nya, Allah tetap bersama mereka dimana saja mereka berada yaitu Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
...ثم استوى على العرش...
”Lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “…Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini adalah pandanagn Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auza’I, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam asy-Syafi’I, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan imam-imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu membiarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ta’thil (penolakan). Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut sangat jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatupun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya. Seperti yang difirmankan-Nya:

.ليس كمثله شيء وهو السميع البصير...
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat..” (QS. Asy-Syuuraa: 11)

Tetapi persoalannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para imam, di antaranya dalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i guru Imam al-Bukhari-, ia mengatakan: ‘Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barang siapa yang mengingkari sifat yang telah Allah berikan untuk Diri-Nya sendiri, berarti ia juga telah kafir.’ Tidaklah apa-apa yang telah disifatkan Allah bagi Diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan. Barang siapa yang menetapkan bagi Allah ’Azza wa Jalla setiap apa yang disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur-an yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan kebesaran Allah, serta menafikan segala kekurangan dari Diri-Nya, berarti ia telah menempuh jalan hidayah (petunjuk)[3].
Firman Allah a-Aziiz:

“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Thaahaa: 5)

Ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya tentang istiwa’ Allah, maka beliau menjawab:

الإستواء غير مجهول, والكيف غير معقول, ولإيمان به واجب, والسؤال عنه بدعة, وما أراك إلا ضالا.

"Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali dalam kesesatan.”

Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya.[4]

Imam Abu Hanifah (hidup pada tahun 80-150 H) rahimahullah berkata:
من أنكر أن الله عز وجل في السماء فقد كفر.
“Barang siapa yang mengingkari bahwa Allah “Azza wa Jalla berada di atas langit, maka ia telah kafir.”[5]

Disalin dari Kitab Syarah ’Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, halaman 205-207, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i PO.BOX 7803/JACC 13340 A. Cetakan Keempat: Sya’ban 1427 H/ September 2006 M.
____________
[1] Dalil-Dalil Allah berada di atas langit: QS. Al-Mulk: 16-17, al-An’am: 18, 61, an-Nahl: 50, al-Mu’min: 36-37 dan Faathir: 10.
[2] Dalil-dalil tentang Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy-Nya disebut di tujuh tempat: QS. Al-A’raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra’d: 2, Thaahaa: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajdah: 4, dan al-hadiid: 4.
[3] Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (II/246-247), cet. Daarus Salaam, th. 1413 H.
[4] Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 141), cet. Al-Maktab al-Islami, tahqiq Syaikh al-Albani.
[5] Lihat Mukhtasharul ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 137, no. 119) tahqiq Syaikh al-Albani dan Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 386-387) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.


0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa selalu memberikan komentar-komentar yang dapat berupa Nasehat-nasehat yang baik dan membangun ya!