Senin, 25 Januari 2010


Berlebihan dalam Beragama

Oleh: Al Ustadz Al Fadhil Abu Kholil Mujahid hafizhahullahu ta’ala

(Markaz Darul Hadits, Ma’arib, Yaman & Mudir Yayasan Darussunah Al Islamiyyah, Sragen)

Kebenaran adalah sesuatu yang sangat berharga, sangat agung dan sangat mahal yang menjadikan seseorang berada di atasnya merasa tenang, tentram dan nyaman inilah kebahagian hidup, suatu nikmat yang sangat besar dan mahal bagi seluruh manusia ketika mampu menjadikan Islam sebagai ajaran hidupnya.

Dialah Alloh ta’ala yang telah menurunkan agama yang haq sebagai petunjuk, nasehat dan kabar gembira, sebagai cahaya yang terang benderang, risalah yang terakhir, sebagai pelurus dari semua jalan kesesatan dan penyimpangan, sebagai cahaya Ilmu dari segala macam kebodohan, membukakan hati bagi orang-orang yang lalai. Maka bersinarlah dunia dengan Islam sesudah kegelapannya, bersatulah manusia sesudah bercerai berainya, tegak sebagai ajaran kehidupan yang benar dan rahmat bagi seluruh alam.

“Dan inilah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kamu bertakwa.” (Al An’am:153)

I. ISLAM ADALAH AGAMA ADIL DAN PERTENGAHAN.
Dinul Islam adalah agama yang menyerukan kepada semua kebaikan dan meninggalkan semua kejelekan dan ini merupakan maksud daripada syariat yang diturunkan Alloh ta’ala kepada Rosul-Nya. Sebagaimana dalam kaidah yang ma’ruf:

جاءت الشريعة لتحصيل المصالح أو لتكميلها ولتعطيل المفاسد أو لتقليلها

Islam adalah agama yang adil dan pertengahan diantara dua golongan yang berlebih-lebihan (ifroth) dan golongan yang meremehkan (tafrith) amalan-amalan didalam perkara agama. Umat Islam adalah umat yang berada dipertengahan antara umat Yahudi (al magdhubun) dan Nasrani (ad dholun) sebagaimana yang disebutkan Alloh ta’ala di dalam surat Al Fatihah. Yaitu umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam yang berilmu dan beramal diatas kebenaran yang diturunkan oleh Alloh ta’ala.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al Baqoroh:143).

Demikianlah kita dapatkan di dalam ajaran Islam yang mengedepankan sikap adil dan pertengahan dalam semua sendi kehidupannya dan memperingatkan umatnya untuk meninggalkan sikap yang berlebihan (ifroth) dan meremehkan (tafrith) didalam perkara-perkara agamanya. Inilah sikap pertengahan yang membedakan ajaran Islam dengan ajaran yang lainnya, yang dinamakan keadilan sebagai mana yang telah disebutkan didalam ayat diatas bahwa umat ini sebagai syuhada/saksi-saksi diantara semua umat yang ada, dan tidaklah persaksian itu diterima kecuali dengan keadilan dan orang yang berlaku adil. Sebagaimana disebutkan didalam hadits Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam:

عن أبى سعيد الخري رضي الله عنه قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : “يجاء بنوح يوم القيا مة, فيقال له: هل بلغت؟ فيقول: نعم يا رب, فتسأل أمته: هل بلغكم؟, فيقولون: ماجاءنا من نذير, فيقول: من شهودك؟, فيقول: محمد وأمته, فيجاء بكم فتشهدون, ثم قرأ رسول الله صلى الله عليه وسلم : (وكذلك جعلناكم أمة وسطا), قال: عدلا (لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا). (رواه البخارى)

Artinya: Dari Abi Said Al Khudry radhiyallahu ‘anhu berkata: bersabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dihadirkan Nabi Nuh ‘alaihis salam pada hari kiamat, maka dikatakan kepadanya, apakah telah kamu sampaikan? Maka berkata (Nabi Nuh ‘alaihis salam ): ya (telah aku sampaikan) wahai Tuhanku, maka ditanya umatnya: apakah dia telah menyampaikan kepada kalian? Mereka menjawab: tidaklah datang kepada kami peringatan, maka berkata (Alloh ta’ala): siapakah yang menjadi saksimu? Maka berkata (Nabi Nuh ’alaihis salam): Muhammad dan umatnya, maka didatangkanlah kalian (umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kalian bersaksi, kemudian Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat : ” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (HR. Bukhori).

Dan inilah makna ayat sebagaimana yang ditafsirkan oleh salafussholih seperti: Ibnu Abbas, Mujahid, Said Ibnu Zubair, Qotadah radhiyallahu ‘anhum dan yang lainnya.

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Alloh.” (Ali Imran:110)

Sebagai mana ayat ini juga menegaskan bahwasannya umat ini adalah umat yang terbaik, dan tidaklah kebaikan yang ada pada umat ini kecuali keadilan ada di dalamnya. Tidaklah Alloh ta’ala memerintahkan sesuatu kebaikan kecuali syaithon akan menghalanginya baik dengan meninggalkan, meremehkan (tafrith) amalan atau menambahkannya (ifroth) akan tetapi Alloh ta’ala senantiasa menjaga agama ini. Perumpamaan keadilan dan pertengahan agama ini sebagai mana diibaratkan lembah diantara dua bukit, hidayah diantara dua jalan kesesatan.

Dan gambaran keadilan agama ini sangatlah banyak yang meliputi semua sendi kehidupan, setiap ajaran yang ada didalam syariat sesuai dengan keadilan karena agama ini adalah agama fitroh bagi manusia, sebagaimana Syariat Islam juga merupakan ajaran yang mudah bagi umatnya.

“Dan Dia (Alloh) sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan”. (Al Hajj:78).

“Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian”. (Al Baqoroh:185).

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya agama ini mudah dan tidaklah yang membuat kesulitan kecuali akan dikalahkannya”.

Inilah kemudahan yang ada didalam syariat Islam yang Alloh ta’ala dan Rosul-Nya berikan kepada umat-Nya. Sebagaimana juga agama ini merupakan agama yang penuh dengan keramahan, kelembutan dan pemaaf.

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Alloh ta’ala itu lembut mencintai kelembutan, dan memberikan atas kelembutan apa-apa yang tidak diberikan atas kekerasan“. (HR. Muslim).

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali menjadikannya indah, dan tidaklah dicabutnya dari sesuatu kecuali menjadikannya buruk”. (HR. Muslim).

Kelembutan, keramahan dan kemudahan ini semua terlihat dalam konsep dakwah dan penyebaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh dan para sahabatnya.

Tatkala Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’ad bin Jabal dan Abu Musa Al As’ari radhiyallahu ‘anhuma ke Negeri Yaman:

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mudahkanlah dan janganlah kalian persulit, beri kabar gembira dan jangan buat mereka lari“. (HR. Bukhori).

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah Alloh mengutusku untuk menyulitkan dan saling menyulitkan, akan tetapi mengutusku sebagai seorang pengajar yang memudahkan” (HR. Muslim).

Kelembutan didalam dakwah ini adalah merupakan ajaran yang pernah dilakukan oleh para Nabi dan Rosul, sebagaimana ketika Alloh ta’ala mengutus Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam kepada Fira’un (pembangkang yang menyatakan dirinya sebagai Tuhan),

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha:43-44)

Berkata Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah : “Bahwa dakwah keduanya (Musa dan Harun ‘alaihimas salam ) kepada Fir’aun dengan perkataan yang lembut dan mudah agar bisa menyentuh jiwa dan berhasil”. (Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal.153).

Ayat diatas sebagai contoh bagi siapa saja yang menyerukan kepada kebenaran agar bersikap lembut sekalipun terhadap pembangkang, sebagaimana kisahnya Musa dan Harun terhadap Fir’aun didalam dakwahnya. Demikian juga Alloh ta’ala telah berfirman kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya para penyeru dakwah.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An Nahl:125)

Didalam ayat ini Alloh ta’ala telah memerintahkan dalam berdakwah dengan tiga jalan: hikmah, peringatan yang baik dan membantah dengan cara yang baik.

2. MAKNA RADIKALISME / Ghuluw ((الغُـلـُو

Kata radikal, kekerasan dan kekakuan (الغلو) kembali kepada sebuah kalimat yang bermakna sesuatu yang berlebih-lebihan didalam melampaui batas dan ukuran. Sebagaimana yang dikatakan ibnu faris rahimahullah didalam kitabnya “Mu’jam maqayis Lughah” Sedangakan berlebih lebihan didalam agama yaitu dengan melakukan sesuatu yang melampaui batas dengan kekerasan dan kekakuan, sebagaimana disebutkan oleh Al Jauhari rahimahullah di dalam kitabnya “Ash Shihah” demikian juga disebutkan oleh Ibnu Mandur rahimahullah dalam kitabnya “Lisanul Arab” dan juga Azzubaidi rahimahullah dalam kitabnya ”Taajul ‘Arus”.

Dan kata yang semisal dengan ini (الغلو)/ghuluw yang memiliki makna yang sama sangatlah banyak seperti التطرف, التنطع, التشدد, العنف semuanya memiliki makna yang berhubungan satu dengan yang lainnya yaitu sesuatu yang melampaui batas dan ukuran dalam satu perkara.

3. PERINGATAN DARI BAHAYA RADIKALISME.

Sesungguhnya manusia didalam menyambut seruan dakwah para Nabi dan Rosul bermacam-macam, demikian juga didalam melakukan kebenaran yang dibawanya;

* Diantara manusia ada yang menyambut seruan dakwah dan berpegang teguh dengan kebenaran.
* Diantara manusia ada yang menyimpang dengan meremehkan (tafrith) dari ketentuan Alloh ta’ala.
* Diantara manusia ada yang melampaui batas (ifroth) dari ketentuan Alloh ta’ala.

Semua tingkatan ini ada pada umat-umat yang terdahulu sebelum umat Islam, sehingga kita diperintahkan oleh Alloh ta’ala untuk senantiasa memohon kepada-Nya berada diatas jalan yang lurus yaitu jalannya orang-orang yang diberi nikmat hidayah dan senantiasa terhindar dari golongan yang menyimpang yaitu al magdhubun (yang dimurkai) dan ad dhoolun (yang sesat), golongan yang melampaui batas dan yang meremehkan didalam agama sebagaimana yang telah disebutkan Alloh ta’ala di dalam surat Al Fatihah.

Dan telah ditegaskan larangan ini di dalam Al Qur’an sebagaimana larangan yang disampaikan kepada ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan ini juga merupakan peringatan bagi umat Islam untuk tidak melakukan perkara yang terlarang ini.

“Wahai Ahlul Kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan jangnlah kamu mengatakan terhadap Alloh kecuali yang benar”. (An Nisa: 171).

“katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al Maidah:77).

Berkata Alhafidz Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsirnya: “Alloh ta’ala melarang Ahlul Kitab untuk tidak melampaui batas didalam beragama dan ini banyak dilakukan oleh Nasrani karena sesungguhnya mereka melampaui batas didalam menempatkan kedudukan Nabi Isa ‘alaihis salam sampai melampaui batas yang telah diberikan Alloh ta’ala kepadanya yaitu dengan menempatkan kedudukannya sebagai seorang Nabi menjadi Tuhan yang disembah selain Alloh ta’ala bahkan mereka melampaui batas kepada para pengikutnya dan kelompoknya yang mereka menyangka diatas ajarannya Nabi Isa ‘alaihis salam dan meyakini kema’suman mereka dan mengikuti setiap apa yang mereka katakan baik didalam perkara yang haq maupun batil, sesat maupun petunjuk, benar maupun dusta sebagai mana firman Alloh ta’ala: “Mereka menjadikan pemimpin-pemimpin dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Alloh (At Taubah:31)”, (Tafsir Ibnu Katsir 1/589).

Dan didalam hadits-hadits Roululloh shallallahu ‘alaihi wa salam terdapat larangan dari perbuatan yang melampaui batas didalam perkara agama.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : (لا تشددوا على أنفسكم فيشدد الله عليكم, فإن قوما شددوا على أنفسهم فشدد الله عليهم, فتلك بقاياهم في الصوامع والد يا را ت رهبانية ابتدعوها ما كتبنا عليهم. (رواه أبوداود)

Artinya: dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Janganlah kalian menyusahkan diri kalian maka Alloh akan menyusahkan atas kalian, maka sesungguhnya suatu kaum yang menyusahkan diri mereka maka Alloh akan menyusahkan terhadap mereka, dan tinggalnya mereka di tempat-tempat peribadatan dengan beribadah yang melampaui batas yang tidak di tetapkan atas mereka”. (HR. Abu Daud).

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Celakalah orang-orang yang melampaui batas”(Diucapkan sebanyak tiga kali). (HR. Muslim).

Berkata Imam An Nawawi rahimahullah didalam hadits ini: “Celakalah orang-orang yang melampaui batas atau orang-orang yang melebihi batas ketentuan syariat didalam perkataan dan perbuatan mereka”. (Syarh Muslim:17/220).

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنه قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم : إياكم والغلو في الدين, فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين. (رواه أحمد و ا بن خزيمة والحاكم)

Artinya: “Jauhilah kalian dari perkara yang melampaui batas didalam agama, maka sesungguhnya telah celaka orang-orang sebelum kalian yang melampaui batas didalam perkara agama.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Hakim).

4. MACAM-MACAM RADIKALISME (الغلو).

Sesungguhnya ghuluw di dalam beragama bukanlah merupakan satu macam atau satu tingkatan akan tetapi terdiri dari beberapa tingkatan sesuai dengan perbedaan yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para pelakunya sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam kitabnya “Iqtidha shiratal mustaqim” bahwa ghuluw dibagi menjadi dua macam:

a. Ghuluw Al Kulli Al I’itiqodi (الغلو الكلي الإعتقادي)

Yaitu sesuatu yang melampaui batas yang berkaitan dengan perkara syari’at secara keseluruhan dan permasalah-permasalahan aqidah seperti ghuluw di dalam wala’ dan baro’, ghuluw terhadap para imam yang dianggap ma’shum, ghuluw terhadap masyarakat yang melakukan kema’siatan seperti di dalam masalah pengkafiran para pelaku maksiat. Dan macam ghuluw ini adalah paling berbahaya dibandingkan dengan macam yang lainnya karena ghuluw ini menyebabkan kepada kehancuran bagi individu dan masyarakat di dalam pemahaman agamanya yang bisa mengeluarkan seseorang dari jalan yang lurus. (Al I’tisham 2/712 Imam Syathibi)

b. Ghuluw Al Juzi Al ‘Amaliy (الغلو الجزئ العملى)

Yaitu apa-apa yang berkaitan dengan sebagian atau secara keseluruhan dari perkara cabang-cabang di dalam syari’at secara ‘amaliyah, baik secara perkataan lisan atau perbuatan seperti yang disebutkan di dalam hadits riwayat imam Bukhori dan Muslim yang mengkisahkan tentang seorang yang hendak berpuasa sepanjang masa, sholat malam sepanjang malam dan meninggalkan kenikmatan dunia untuk tidak menikah.

5. SEBAB-SEBAB TERJADINYA RADIKALISME

Penyimpangan dari pemahaman yang benar di dalam Islam dan jauhnya dari manhaj Assalafussholih (yaitu manhaj Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam, para sahabatnya radiyallahu ‘anhum, tabi’in dan para ulama) terjadi dari berbagai sebab yang datang dari luar maupun dari dalam Islam sendiri.

a. Faktor-faktor yang terjadi dari luar Islam

Seperti terjadinya perluasan daerah Islam yang berdampak pada masuknya berbagai macam pola pemikiran yang berasal dari non Islam, masuknya berbagai macam agama di dalam negara-negara Islam, banyak beredarnya buku-buku yang tidak bersumber dari Islam, dan masuknya berbagai macam keyakinan yang sesat, seperti halnya Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi (pencetus kelompok Syi’ah) yang memasukkan pemikiran ghuluw terhadap Ali bin Abi Tholib hingga sampai pada derajat ketuhanan demikian juga Bisri Al-Marisi Al-Yahudi yang menafikan nama-nama dan sifat-sifat Alloh ta’ala sekaligus menganggap Al-Qur’an sebagai makhluq bukan kalamullah.

b. Faktor –faktor yang terjadi dari dalam Islam

Dari faktor pokok utama mengenai permasalahan ghuluw yang terjadi:

1. Ibtida’ (melakukan perkara-perkara agama ini yang tidak berdasarkan dalil-dalil yang ada).
2. Jahil (Kebodohan dan lemahnya keilmuan tentang kebenaran agama ini serta sedikitnya perbendaharaan ilmu di dalam mengetahui seluk beluk yang terdapat di dalamnya).
3. Ittiba’ul Hawa (mengikuti hawa nafsu dengan meninggalkan tuntunan syari’at yang ada).
4. Taqdimul ‘Aqli ‘ala Naqli (mendahulukan akal dari pada nash-nash yang ada).
5. Ta’ashshub wa Taqlid (fanatik kepada sesuatu serta mengikutinya dengan membabi buta)

Inilah beberapa sebab yang bisa dipaparakan secara ringkas dalam kesempatan terbatas ini.

6. GAMBARAN SEJARAH RADIKALISME

Didalam pembahasan ini kami sebutkan sebagian kelompok yang bersikap ghuluw dan menyelisihi manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, yang banyak disebutkan didalam kitab para ulama;

1. Dalam masalah nama dan sifat Alloh ta’ala.

* Kelompok Jahmiyah: berlebihan di dalam menafikan nama dan sifat bagi Alloh ta’ala.
* Kelompok Musyabbihah: berlebihan di dalam menetapkan nama dan sifat, sampai mereka menyamakan Alloh ta’ala dengan makhluknya.

2. Dalam masalah Taqdir.

* Kelompok Qodariyah: berlebihan di dalam menetapkan kehendak Alloh ta’ala, sampai menafikan Taqdir Alloh ta’ala bagi makhluk dan menetapkan bahwa makhluk menciptakan perbuatannya sendiri.
* Kelompok Jabriyah: berlebihan di dalam menetapkan kehendak Alloh ta’ala, sampai menafikan ikhtiyar makhluk dan menetapkan bahwa semua yang dilakukan makhluk hakikatnya adalah perbuatan Alloh ta’ala.

3. Dalam masalah penamaan iman dan agama.

* Kelompok Khowarij: berlebihan di dalam permasalahan iman sampai mereka mengkafirkan orang yang berbuat maksiat walaupun hanya sekali, maka halal darah dan hartanya.
* Kelompok Mu’tazilah: berlebihan sampai mengatakan bahwa orang yang berbuat maksiat tidak dikatakan orang muslim atau kafir, tetapi berada di antara dua perkara ini, sedangkan di akhirat dia kekal di neraka.
* Kelompok Murji’ah: meremehkan di dalam mensikapi pelaku kemaksiatan, sampai mengatakan bahwa amalan tidak termasuk masalah iman. Maka orang yang bermaksiat walaupun sebanyak apapun tidak akan mengeluarkan dari iman.

Untuk lebih jelasnya dalam masalah ini bisa dibaca dalam berbagai referensi diantaranya:

1. Al Fasl Fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, karya Imam Ibnu Hazm rahimahullah.
2. Al Milal An Nihal, karya Asy Syihristani Asy Syafi’I rahimahullah.
3. Al Farqu Bainal Firoq, karya Imam abdul qahir bin thohir al Baghdadi rahimahullah.
4. Maqolatul Islamiyin Wa Ikhtilaf Musolin, karya Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah.

Dalam kesempatan ini akan kami paparkan salahsatu kelompok yang banyak memberikan Inspirasi bagi Individu ataupun kelompok yang ada pada masa sekarang ini yang melakukan berbagai macam bentuk kekerasan dan pembunuhan di dalam perkara agama, inilah kelompok yang dinamakan Al-Khowarij:

A. Penamaan Khowarij

Kelompok ini dinamakan sebagai khowarij dari kalimat ” ( (خَرَجَ / Khoroja “ Yang bermakna keluar atau memberontak. Hal ini disebabkan karena mereka keluar untuk memberontak dari kholifah Ali bin abi Tholib radiyallahu ‘anhu dalam perang Sifin, dan kejadian ini sudah digambarkan oleh Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam ketika bersabda “Mereka keluar ketika terjadi perselisihan diantara kaum muslimin” kemudian perbuatan ini menjadi sifat yang paling menonjol bagi khowarij sampai zaman sekarang (lihat Al khowarij Awwalul Firoq Fi Tarkil Islam: 28-29).

B. Awal kemunculan kelompok Khowarij

Kelompok ini sebenarnya sudah muncul bibitnya pada zaman Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam dan pencetus mereka bernama Dzul Khuwaisiroh, berkata kepada Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam “Wahai Rosululloh berbuat adillah!!” ketika Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam membagi Ghonimah Hunain. Maka Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Sungguh celaka kamu… siapakah yang bisa berbuat adil kalau saya tidak berbuat adil, sungguh celakalah aku dan rugilah jika aku tidak berbuat adil .”

Dan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman radiyallahu ‘anhum kelompok ini belum muncul, ketika pada masa kholifah Ali bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu terjadi perselisihan pendapat antara Ali dan Mu’awiyah radiyallahu ‘anhuma dalam masalah pembunuhan Utsman radiyallahu ‘anhu. Maka Ali radiyallahu ‘anhu berpendapat untuk ditegakkan Kholifah terlebih dahulu kemudian setelah itu menghukum pembunuh Utsman radiyallahu ‘anhu, Sedangkan Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu berpendapat untuk ditegakkan hukuman untuk pembunuh Utsman sebelum dipililh Kholifah.

Perselisihan ini menyebabkan suatu peperangan yang besar diantara kedua belah pihak yang dikenal dengan perang Siffin. Ketika terjadi peperangan dan nampak kemenangan bagi pihak Ali maka Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu meminta perdamaian dengan saling mengutus perwakilan dari kedua belah pihak. Maka Ali radiyallahu ‘anhu mengutus Abu Musa Al-’Asy’ary radiyallahu ‘anhu sedangkan Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu mengutus Amr bin ‘Ash radiyallahu ‘anhu untuk berhukum dan mengadakan perdamaian.

Setelah melihat perdamaian ini beberapa prajurit dan kelompok Ali radiyallahu ‘anhu merasa tidak puas dan memutuskan unuk keluar dari barisan Ali radiyallahu ‘anhu. Yang pertama kali menyatakan ketidakpuasan itu adalah Urwah bin Jarir radiyallahu ‘anhu dia berkata “Apakah kalian berhukum kepada manusia dalam agama Alloh ta’ala??” kemudian perkataan ini tersebar di kalangan kelompok mereka lalu tersebar (istilah tidak ada hukum kecuali hukum Alloh ta’ala) setelah itu mereka membai’at Abdullah bin Wahab Ar Rosyibi pada Tanggal 10/10/37 H, untuk membuat kelompok tersendiri dan untuk memberontak terhadap Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma kemudian mereka kumpul di suatu tempat bernama Haruro yang berjumlah sekitar 12.000 prajurit.

Kemudian Kholifah Ali radiyallahu ‘anhu membantah mereka dan juga mengutus sebagian para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma untuk menyadarkan dari pemahaman mereka yang menyimpang sehingga terbongkarlah penyimpangan yang ada pada mereka. Setelah terbongkarnya penyimpangan-penyimpangan mereka maka sekitar 8.000 (2/3) dari pasukan mereka tobat dan kembali kepada Ali Bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu sedangakan sisa pasukan yang berjumlah 4.000 masih tetap dalam penyimpangannya.

Kemudian mereka keluar ke tempat yang bernama Nahrowan untuk memerangi kholifah Ali radiyallahu ‘anhu dan pasukannya. Ketika di tengah perjalanan mereka melihat seseorang yang lari maka orang ini ditangkap dan ditanya “Siapa kamu?” orang tadi menjawab “Saya Abdullah bin Khobbab Al Aroti radiyallahu ‘anhu” orang-orang khowarij berkata kepadanya “Beri tahu kepada kami satu hadits yang kamu dengar dari bapakmu dari Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam” Abdullah berkata “Aku mendengar bapakku berkata, Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Akan datang suatu fitnah orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang berlari.” Maka barang siapa yang mampu menjadi orang yang terbunuh maka jangan menjadi pembunuh.

Maka salah seorang Khowarij marah ketika mendengar hadits ini kemudian mengeluarkan pedang untuk membunuh Abdullah. Ketika dia mendapatkan Abdullah telah meletakkan mushaf AlQur’an di lehernya maka orang-orang Khowarij berkata “Sesungguhnya apa yang ada di leher kamu telah meminta kita untuk membunuhmu lalu memenggal kepala Abdullah. Kemudian orang-orang Khowarij masuk ke dalam rumah Abdullah dan membunuh anak dan istrinya dalam keadaan hamil lalu mereka berjalan ke Nahrowan.

Setelah itu sampailah berita itu kepada Ali radiyallahu ‘anhu, maka dia keluar bersama 4.000 pasukan untuk menyerang khowarij. Setelah sampai di Nahrowan Ali meminta kepada Khowarij untuk menyerahkan pembunuh Abdullah bin Khobbab maka mereka berkata “Sesungguhnya kita semua yang membunuhnya, seandainya kita yang lolos darimu maka kita yang akan membunuhmu” lalu terjadilah peperangan yang dahsyat yang dinamakan dengan perang Nahrowan. Dan jumlah pasukan Ali yang terbunuh hanya 9 orang sedangkan dari kelompok Khowarij semuanya terbunuh kecuali 9 orang yang tersisa. 2 orang melarikan diri ke Sijistan, 2 orang lari ke Yaman, 2 orang lari ke Oman, 2 orang lari kesebelah Jazirah, satu orang lari ke Tilmuzan. Dan Sembilan orang inilah menjadi penggerak dan penyebar pemikiran Khowarij di Negara-negara tersebut sampai memiliki pengikut yang banyak.

Lalu mereka menyusun strategi untuk membunuh atau menculik kholifah Ali dan Mu’awiyah Amr bin ‘Ash radiyallahu ‘anhum sampai tokoh mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljam bisa membunuh kholifah Ali radiyallahu ‘anhu di pagi hari Jum’at 17 Romadhon tahun 40 H. ketika Ali mengimami sholat Subuh maka ditikamlah Ali radiyallahu ‘anhu menggunakan pedang yang sudah dibubuhi racun. Kemudian Abdurrahman bin Muljam ditangkap lalu dibunuh. Kemudian setelah itu menyebarlah pemkiran khowarij sampai saat ini diseluruh penjuru dunia Islam. (Lihat Al Faruq Bainal Firoq:79-86, dan Al Milal Wan Nihal: 132-137 dan Al Khowarij:30-32).

C. Hadits-hadits tentang celaan terhadap Khowarij

Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya dia (Dzul Khuwaisiroh) memiliki pengikut, dan salah seorang diantara kalian akan diremehkan sholat dia dibandingkan dengan sholat mereka, dan puasa dia dibandingkan dengan puasa mereka. Kemudian Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam melihat kepada Dzul Khuwaisiroh kemudian berkata: Sungguh akan muncul dari anak cucu orang ini suatu kaum yang membaca Al Qura’an (dengan banyak), tetapi bacaan Qur’an ini tidak sampai pada tenggorokannya. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya dan mereka akan keluar ketika terjadi perpecahan kaum muslimin, kalau seandainya saya bertemu dengan mereka maka akan aku bunuh mereka sebagai mana kaum Ttsamud di bunuh“. dalam riwayat yang lain “Mereka selalu membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang Musrik, kalau saya bertemu dengan mereka maka akan kubunuh sebagaimana kaum ‘Ad di bunuh”. (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari Ali bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu bahwa Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang masih muda belia dan pendek pemikiran mereka, mereka mengatakan perkataan manusia yang paling mulia (yang dhohir), mereka membaca Al Qura’an tetapi bacaannya tidak sampai tenggorokannya, mereka keluar dari Islam sebagimana keluarnya anak panah dari busurnya, barang siapa yang mendapatkan mereka maka hendaknya membunuh mereka, karena orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala disisi Alloh”. (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu, Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Khowarij adalah merupakan sejelek-jeleknya makhluk”. (Shohih Ibnu Majah:178).

Dari Abi Gholib rahimahullah berkata: “Abu Umamah radiyallahu ‘anhu melihat kepala-kepala manusia (orang khowarij) ditancapkan ditangga masjid Damaskus. Maka Abu Umamah radiyallahu ‘anhu berkata: Mereka adalah anjing-anjing neraka, sejelek-jelek orang mati dibawah langit, dan sebaik-baik orang mati adalah orang yang mereka bunuh, kemudian membaca ayat (pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berserih, dan ada pula muka yang hitam buram) Ali Imron:106, aku berkata kepada Abu Umamah radiyallahu ‘anhu. Apakah kamu mendengarnya dari Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam? Beliau berkata, tidaklah saya mendengar kecuali sekali, dua kali, tigak kali, empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali maka saya tidak mungkin mengabarkan hadits ini kepada kalian”. (Shohih Tirmidzi:3199).

D. Pemikiran kelompok Khowarij.

Kami sebutkan sebagian pemikiran Khowarij secara ringkas, karena perinciannya membutuhkan waktu yang panjang. Diantara pemikiran dan ciri-ciri mereka:

1. Mengkafirkan orang Muslim disebabkan dosa besar dan memasukannya kedalam golongan orang-orang Kafir.
2. Memberontak kepada pemerintahan yang bukan dari kelompok mereka, sekalipun yang memimpin Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam atau para sahabatnya sebagaimana yang dilakukan oleh pencetus kelompok ini.
3. Memerangi kaum muslimin yang bukan dari kelompok mereka dan bermuamalah bersama mereka seperti bermuamalah dengan orang Kafir serta menghalalkan darah dan harta mereka.
4. Memalingkan dalil-dalil yang berkaitan dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar kepada amalan pemberontakan dan penggulingan pemerintahan dan memerangi orang yang menyelisihi mereka.
5. Diikuti oleh kebanyakan para pemuda belia yang dangkal keilmuan agamanya.
6. Memiliki sikap berlebihan di dalam beragama bersamaan dengan tampaknya tanda-tanda ibadah secara dhohir seperti Sholat, Puasa, zuhud dan wara’.
7. Memerangi dan membunuh orang muslim, akan tetapi membiarkan orang-orang kafir dan musyrik.

E. Sebab-sebab munculnya kelompok khowarij.

1. lemahnya pemahaman dan kurangnnya ilmu agama ditambah lagi dangkalnya dalam memahami nash-nash Al-Qur’an. Sebagaimana digambarkan oleh Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam (mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai kekerongkongan mereka. –tidak memahaminya-).
2. Jauhnya mereka dari para ulama sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu: “Dan tidak ada seorang pun dari sahabat Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam yang bersama kalian”.
3. Menganggap diri mereka lebih berilmu dari para ulama, sampai mereka menganggap bahwa mereka lebih berilmu dari pada Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhuma dan semua para sahabat.
4. Kerancuan mereka dalam menggunakan dalil, karena mereka berlebihan dalam mengambil ayat-ayat yang berisi ancaman dan meninggalkan selainnya. Mereka berdalil dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan orang-orang kafir kemudian meletakan ayat-ayat ini kepada orang-orang muslim yang menyelisihi mereka. Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang berkaitan dengan orang kafir kemudian menggunakannaya kepada orang-orang muslim”. (HR. Bukhori:12/282, Fathul Bari).
5. mereka hanya mencukupkan diri dengan dalil-dalil Al Qur’an dan menolak Hadits hadits Rosulolloh shalallahu ‘alaihi wa salam.
6. Tergesa-gesa dalam menghukumi orang yang menyelisihi mereka. (Lihat Al Khowarij Awalul Firoq fi Tarikh Islam:37-44 oleh Doctor Nasir bin Abdul Karim Al Aql).

F. Berkembangnya pemahaman Khowarij masa kini

Sesungguhnya pemikiran dan Aqidah Khowarij senantiasa bermunculan dan berkembang di zaman-zaman terakhir.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata ketika menjelaskan tanda-tanda Dzul Khuaisiroh (pencetus kelompok Khowarij): “Dan ciri-ciri orang ini yang telah digambarkan oleh Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam adalah sebagai orang pertama kali yang keluar dengan pemahaman seperti ini, tetapi pemahaman ini tidak terbatas dengan mereka (Khowarij zaman dulu), karena Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengabarkan didalam hadits yang banyak bahwasannya mereka senantiasa akan muncul sampai pada zaman keluarnya Dajjal, dan kaum Muslimin telah sepakat bahwa Khowarij tidak terbatas dengan kelompok yang memerangi Kholifah Ali bin abi tholib radiyallahu ‘anhu.” (Majmu’ Fatawa:28/490-496).

Sedangkan salah satu organisasi zaman sekarang yang sangat nampak dalam pembelaan dan menyebarkan Aqidah Khowarij adalah “Jamaatut Takfir wal Hijroh” organisasi ini menamakan dirinya sebagai “Jamaatul Muslimin”. Jamaah ini muncul di Mesir yang didirikan oleh seorang mahasiswa Universitas di kota Asyot di kuliah pertanian. Nama pendiri jamaah ini adalah Syukri Mustofa, dan dia memulai kegiatannya dengan menjadi anggota organisasi Ikhwanul Muslimin. Kemudian dipenjara pada tahun 1965 M.

Organisasi Ikhwanul Muslimin tidak mengkafirkan seorang muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadatain, maka Syukri Mustofa senantiasa bertanya kepada teman-temannya apakah orang-orang yang memenjarakan dan menyiksa seperti ini dikatagorikan Muslim atau Kafir?. Maka hasil dari jawaban pertanyaan ini adalah mereka semua Kafir. Kemudian bertanya tentang penguasa dan pemerintahan, maka jawaban mereka semuanya adalah Kafir. Kemudian bertanya tentang masyarakat yang diam dan ridho dengan hukum orang kafir, maka jawaban mereka semuanya kafir.

Kemudian para tokoh Ikhwanul Muslimin berusaha menghadang dan membantah Syukri musthofa dan pengikutnya, tetapi justru di kafirkan oleh mereka, dengan dalil Qoidah “Siapa yang tidak mengkafirkan orang Kafir maka dia Kafir“. Kemudian Syukri dengan jama’ahnya sekitar 13 orang mendirikan organisasi bernama Jama’atul Muslimin ketika dipenjara.

Setelah keluar dari penjara tahun 1971 M, Syukri dan jama’ahnya menyebarkan pemikiran Khowarij ini, maka tersebarlah pemikiran ini yang digemari para pemuda yang memiliki semangat keislaman dan berkembang pesat di Universitas-universitas Islam. Untuk menyebarkan pemikiran ini, maka Syukri dan jama’ahnya menulis kitab dan menyebarkannya dikalangan para pemuda, sampai menurut pengakuannya: karya saya sekitar 4000 halaman.

Pada tahun 1977 M terjadi perdebatan antara jama’ah ini dengan sebagian ulama Al Azhar, lebih khusus lagi kepada Syaikh Muhammad Husain Ad Dzahabi rahimahullah yang telah menulis kitab untuk membongkar kedok jama’ah ini. Kemudian terjadi penculikan dan pembunuhan Syaikh Adz Dzahabi rahimahullah di kediamannya. Maka jama’ah ini tertuduh sebagai otak pelaku dalam kasus pembunuhan ini.

Pada tanggal 30 November 1977 M, keluar ketentuan dari pemerintah untuk mengeksekusi (huku mati) terhadap Syukri Mustofa. Dengan kejadian ini maka Jama’atul Muslimin dibubarkan dari gerakannya. Ada diantara mereka yang masuk ke dalam gerakan dan organisasi lain, diantara mereka adalah Usamah Sayid Qosim yang tertuduh menculik para penguasa pemerintahan . dan dia serta yang lain memulai gerakannya sebagai anggota jama’ah Takfir wal Hijroh. (lihat Al Firoq wal Jama’at Al lslamiyah Al Muaisiroh:203-206, dan Al Khowarij Awalul Firoq:132-136).


7. PENANGGULANGAN PEMAHAMAN DAN PERBUATAN RADIKALISME

Dalam bagian ini sangatlah perlu kami paparkan solusi, penanggulangan, obat dari berbagai macam penyimpangan radikalisme yang terjadi di dalam beragama hingga menyebabkan peledakan dan pembunuhan. Setiap masalah pasti ada solusinya dan setiap penyakit pasti ada obatnya dan obat yang sesuai dengan penyakitnya maka akan sirna dengan izin Alloh ta’ala. Inilah beberapa faktor yang paling pokok sebagai solusi di dalam radikalisme yang banyak di tulis oleh para ulama di dalam kitabnya;

a. Berpengang teguh dengan al qur’an dan as sunnah as shohihah.

Kembalinya seorang muslim kepada Al Quran dan As Sunnah As Shohihah adalah semua jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai…..” (Ali Imron:103).

Dari Irbad bin Syariah radiyallahu ‘anhu berkata: “Pada suatu ketika Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam memberikan nasihat kepada kami yang mana nasihat itu sangatlah menyentuh maka bergetarlah hati kami dan berlinanglah air mata kami (para sahabat) maka mereka berkata: wahai Rosululloh seakan-akan ini nasehat perpisahan maka nasehatilah kami, bersabda Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam: Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Alloh, mendengarkan dan taat sekalipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak, karena sesungguhnya akan terjadi dalam kehidupan kalian perselisihan yang sangat banyak maka atas kalian agar berpegang teguh dengan sunnahku dan sunah para Kholifah Ar Rosyidin sesudahku berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam beragama) karena sesungguhnya perkara baru itu adalah perkara bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan“. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan yang lainnya).

b. Kembali kepada manhaj Salafussholih.

Tidak diragukan lagi bahwa sebab yang paling pokok dari penyimpangan di dalam memahami dan mengamalkan Al Quran dan As Sunnah karena salahnya mereka dalam menjadikan kelompok dan tokohnya sebagai rujukan didalam memahami agamanya. Sedangkan Alloh ta’ala dan Rosul-Nya sudah memberikan jalan yang benar di dalam memahami perkara agama ini dengan kembali merujuk kepada pemahaman Salafusholih yaitu pemahaman para sahabat, tabi’in dan atba’ at tabi’in.

Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda; “Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi sesudah mereka (tabi’in) kemudian generasi sesudah (atba’ at tabi’in). (HR. Bukhori dan Muslim).

c. Mengambil Ilmu Syar’I dari para ulama Robbaniyun.

Para ulama adalah orang-orang yang harus kita jadikan rujukan di dalam mempelajari ilmu agama karena merekalah orang-orang yang paling faham secara mendalam tentang seluk-beluk permasalahan agama.

d. Mendakwahkan dan menyebarkan ilmu syar’i.

Sesungguhnya diantara sebab penyimpangan pemahaman karena kurang perhatiannya umat terhadap pentingnya ilmu agama yang benar sehingga menyebabkan terjadinya berbagai macam radikalisme yang ada, maka menjadi suatu kewajiban bagi para ulama dan para tholabul Ilmi syar’i untuk senantiasa mendidik, memahamkan dan menyebarkan pemahaman yang benar.

Demikian makalah ini kami hadirkan semoga bisa memberikan manfaat bagi penulis secara pribadi dan umumnya bagi para pembaca, semoga hati kita di bukakan untuk dapat menerima kebenaran dan di mudahkan oleh Alloh ta’ala untuk dapat mengamalkannya di dalam kehidupan kita, Wallohu ‘Alamu Bisshowab.

Sumber: http://darussunahindo.net

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa selalu memberikan komentar-komentar yang dapat berupa Nasehat-nasehat yang baik dan membangun ya!